Suarabayuangga.com, – Pemukiman padat penduduk, dan tambak yang juga dijadikan wisata taman pancing oleh warga RT 07, RW 07, Kelurahan Sukabumi, Kecamatan Mayangan, Kota Probolinggo ini, berdiri diatas tanah aset milik Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bestari, kota setempat.
Luasan lahan TPA Kota Probolinggo yang seharusnya sebesar 17,7 Hektar itu, hanya bisa dimanfaatkan seluas 4,2 hektar saja.
Sedangkan 13,5 hektar sisanya, ternyata dimanfaatkan oleh pihak lain. adapun digunakan sebagai tempat tinggal atau pemukiman, tambak ikan, bahkan taman pancing.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
dari pantauan di lokasi, terdapat ratusan rumah yang sudah berdiri secara permanen di lokasi tersebut. bahkan suasana di kampung bahari itu sangatlah elok.
Terlihat ada akses menuju tambak ikan dan taman pancing di kelurahan yang terletak di sisi Jalan Lingkar utara tersebut, ada gang kecil selebar kurang belih tiga meter, dengan paving yang sangat bagus, serta bermotif indah.
Disitulah berdirinya ratusan rumah penduduk, lengkap dengan pos yang berada di ujung gang. Dengan tulisan kampung bahari nusantara. Itulah akses masuk ke lahan TPA Bestari yang sudah lama dikelola menjadi tambak oleh masyarakat.
Para warga yang menghuni rumah di area tersebut pun juga mengelola tambak dan kolam pancing.
Namun, dibalik itu semua. Juga terpendam sebuah masalah besar, yang secara tidak langsung, disadari oleh semua warga setempat.
Pasalnya, lahan yang mereka tempati dan dikelola itu, sejatinya merupakan aset TPA Bestari, milik pemerintah Kota Probolinggo. Tentu saja, secara tidak langsung, itu menjadi bom waktu.
Misnan(74), salah satu warga kampung bahari mengaku, dirinya berasal dari wilayah Pasuruan. Namun ia sudah sangat lama menetap disana sebagai pemulung, sekaligus penjaga tambak seluas 9,9 hektar diatas tanah aset Pemerintah Kota Probolinggo itu.
Dari lahan kumuh yang penuh dengan sampah, dan limbah. “Kini sudah menjadi bersih seperti saat ini, ketika sudah dikelola, bahkan untuk jalan paving ini dibangun baru oleh BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat),” terangnya, saat ditemui awak media, pada minggu (5/1/2025).
Misnan juga mengetahui, jika lahan yang ia tempati saat ini, merupakan tanah aset milik negara. Namun ketika itu, saat pertama kali ia tinggal, belum disertifikasi oleh negara atau belum ada sertifikatnya.
“Bentuknya pun tidak seperti sekarang yang berupa permukiman dan tambak. Saat itu, seluruh lahan berupa rawa-rawa atau hutan bakau. Karena itu, tidak ada orang yang berani lewat di jalan itu.” Imbuhnya.
Lalu sekitar tahun 1960-an, Tokoh 45 atau veteran (TNI), diizinkan oleh pemerintah untuk menempati dan mengelola lahan itu.
Termasuk kakeknya. Dengan syarat para penghuninya harus mengelola atau menjaga lahan tersebut dengan baik. Alhasil, mereka pun menempati lahan tersebut, sejak tahun 1969,” tuturnya.
Kala itu, kondisi lahan belum berstatus sebagai lahan aset TPA Bestari. Namun, memang sudah menjadi tempat pembuangan sampah masyarakat Kota Probolinggo. Lalu sekitar tahun 1988, baru lahan tersebut disertifikasi oleh pemerintah.
Tercatat saat ini ada 125 KK yang tinggal di kawasan tersebut. Juga ada sekitar 17 petak tambak dan tiga kolam pancing di atas lahan sekitar 4 hektare.
”Ada yang dijadikan tambak untuk pembibitan ikan nila dan ikan lainnya. Ada tiga kolam pancing yang dikelola warga. Semua itu, menjadi penghasilan tambahan masyarakat,” ucapnya lagi.
Dengan sejarah kepemilikan lahan yang seperti itu, menurutnya wajar jika kemudian pemerintah hendak mengambil alih dan mengelola lahan itu. Namun, warga berharap mereka tidak diusir begitu saja.
”Kita selama ini tidak pernah menyusahkan negara. Kami uruk sendiri, tidak pernah minta bantuan negara,” katanya.
Misnan tidak ingin melawan negara. Karena dirinya yakin, hanya rakyat kecil. Namun, harus dicarikan jalan keluar terbaik.
Bahkan mereka para warga yang saat ini menempati lahan aset milik Pemerintah Kota Probolinggo itu diminta untuk membeli tanah yang ia tempati saat ini, mereka pun siap dan bersedia membayar, asalkan harga yang ditetapkan, sesuai dengan kemampuan para warga.
Ia juga meminta, pemerintah harus adil. Faktanya di lapangan, ada pabrik yang bisa membeli tanah tersebut. Bahkan dapat sertifikat hak milik (SHM). Namun, mayoritas warga tidak bisa melakukan hal serupa.
Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Kota Probolinggo Muchlas Kurniawan mengatakan, akan mencari jalan keluar terkait permasalahan ini, agar tidak menjadi catatan BPK terhadap DLH.
Selain itu, para warga juga mengakui, bahwa lahan yang ditempati saat ini, merupakan milik pemerintah.
”Kami ingin mencari kejelasan karena sertifikat itu terbit tahun 1988. Selama ini, sudah menjadi langganan catatan BPK dan harus dicarikan solusinya. Kami akan diskusikan dengan melibatkan Inspektorat, supaya menjadi jelas,” ucapnya.
Senada dengan Kepala DLH Kota Probolinggo, Retno Wandansari. Pihaknya juga sedang mencari jalan keluar terbaik untuk warga yang kini tinggal di atas lahan TPA. Tujuannya, agar bisa dilakukan penertiban.
Selain itu, mencari sumber mata pencaharian pengganti untuk warga di sana. Terutama mereka yang mengelola lahan itu untuk tambak.
“Nanti akan kami bicarakan lagi, terkait permasalahan ini, termasuk lahan TPA ini,” tandasnya.(Red)